
Rasulullah SAW
bersabda : “ Saat manusia tumbuh menjadi besar, ada dua hal yang ikut menjadi
besar bersamanya, yakni cinta harta dan berangan-angan akan panjang usianya “.
(HR. Bukhori).
Usia manusia
oleh sebagian ulama dibagi dalam empat tahapan masa kehidupannya di dunia ini,
yaitu masa kecil, masa muda, masa separuh baya, dan masa tua. Usia enam puluh
tahun, disebut sebagai usia yang sudah memasuki masa tua. Umumnya, manusia pada
usia ini sudah cenderung melemah kekuatan dan menurun daya tahan fisiknya. Usia
enam puluh tahun dapatlah dikatakan sebagai usia yang sudah berada di ambang
maut, usia yang sudah mendekati ‘pertarungan’ dengan maut.
Rasulullah SAW
bersabda : “ Usia umatku berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun.
Sedikit yang berhasil melewatinya “. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Usman bin Affan
pernah berkata bahwa sesungguhnya Allah SWT menyukai orang yang berusia dua
puluh tahun, namun bersikap seperti orang berusia delapan puluh tahun. Dan,
Allah SWT membenci orang yang berusia enam puluh tahun, tapi bersikap seperti
orang berusia dua puluh tahun.
Rasulullah SAW
bersabda : “ Manusia menjadi tua dan ada dua hal yang akan tetap muda ikut
bersamanya, yakni kecintaan mencari harta dan hasrat memperpanjang usianya “.
(HR. Muslim).
Al-Qurthubi
pernah menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan hamba untuk
hidup dan memiliki ilmu, karena dengan itulah tercapai kesempurnaannya. Lalu
Allah menimpakan kepadanya pelbagai halangan seperti tidur, hadats, dan
berkurangnya kemampuan fisik, karena kesempurnaan sejati hanya milik Yang Maha
Awal, Yang Tiada Berawal, Yang
Maha Pencipta,
Allah SWT. Kalau seseorang bisa mengurangi tidur dengan sedikit makan dan
begadang malam, hendaknya ia mencoba melakukannya. Bodoh namanya, kalau
seseorang hidup selama enam puluh tahun tapi sepanjang malam tidur, sehingga
setengah usianya habis sia-sia. Lalu tidur lagi di siang bolong mengikuti nafsu
malasnya untuk beristirahat, habislah dua pertiga usianya. Yang tersisa baginya
hanya dua puluh tahun saja. Sungguh bodoh dan pandir, kalau seseorang
menghabiskan dua pertiga usianya hanya untuk kenikmatan semu, namun enggan
menghabiskan usianya dalam kenikmatan abadi, disisi Yang Maha Kaya, Yang Maha
Sempurna, Yang Tidak Pernah Tidak Ada, dan Yang Tidak Pernah Berbuat Zalim.
Rasulullah SAW
bersabda : “ Hati orang yang berusia lanjut akan tetap muda dalam dua hal,
yakni cinta dunia dan berangan-angan panjang “. (HR. Bukhori).
Bolehlah
dikatakan usia enam puluh tahun sebagai batas paling akhir untuk dirinya sudah
memfokuskan hari-hari di sisa kehidupannya itu kepada kekhusyukan dan
kepasrahan serta urusan akhirat dalam rangka menanti datangnya ajal. Mereka
yang telah berusia mencapai enam puluh tahun haruslah bersyukur, sebab usianya
itu berarti ia telah diberikan kelonggaran. Sesungguhnya tak banyak lagi hari
yang tersisa baginya untuk berangan-angan panjang dan mencintai dunia, karena
tak berapa lama lagi akan tercapai batas akhir dari kelonggaran usianya.
Rasulullah SAW
bersabda : “ Barangsiapa yang dipanjangkan usianya hingga enam puluh tahun,
berarti Allah memberikan udzur atau kelonggaran pada usianya “. (HR. Abu
Hurairah dan Ibnu Mardawaih).
Allah SWT
berfirman : “ Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : ‘ Ya Tuhan kami,
keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh, berlainan
dengan yang telah kami kerjakan ‘. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu
dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah
tidak) datang kepada kamu pemberi
peringatan ?,
maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang
penolong pun “. (QS : Fathir : 37).
Rasulullah SAW
bersabda : “ Sungguh para nabi sebelumku telah memberikan peringatan secara
amat baik. Dan sungguh, di hari kiamat nanti akan datang panggilan dari sisi
Allah kepada mereka yang berusia enam puluh tahun. Dan apakah kami tidak
memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau
berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan ? “. (HR.
Abu Hurairah).
Allah SWT telah
memberikan kelonggaran dengan memanjangkan usianya, tentunya agar mereka yang
telah dipanjangkan usianya itu segera melaksanakan pelbagai ketaatan, amal
saleh, ibadah yang khusyuk, dan memohon rahmat-Nya untuk pengampunan atas
segala kesalahan serta dosa yang telah diperbuatnya. Semua itu demi sesuatu
yang amat dibutuhkannya di hari kefakiran kelak, ketika telah tiba hari
penghisaban atas diri
mereka.
Rasulullah SAW
bersabda : “ Pertarungan maut itu berada diantara usia enam puluh tahun hingga
tujuh puluh tahun “. (HR. Bukhori).
Fudhoil bin
Iyyadh pernah berkata kepada seseorang lelaki : “ Berapa tahun usiamu ? “.
Kemudian orang
itu menjawab : “ Enam puluh tahun “.
Lalu Fudhoil
berkata : “ Semenjak enam puluh tahun engkau berjalan menuju Robbmu, nyaris
saja engkau sampai tujuan “.
Lelaki itu
kemudian menyahutnya : “ Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un “.
Fudhoil lalu
menanyakannya : “ Engkau mengetahui tafsir dari kalimat itu ?“.
Lelaki itu
menjawabnya : “ Tolong tafsirkan kalimat itu untukku, wahai Abu Ali “.
Fudhoil pun lalu
mentafsirkannya : “ Siapa saja yang menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah,
dan bahwa dia pasti akan berpulang kepada Robbnya, maka hendaklah ia
menyadarinya bahwa ia pasti akan berdiri dihadapan Allah. Barangsiapa yang
menyadari bahwa ia akan berdiri
dihadapan-Nya,
hendaknya ia menyadari bahwa ia harus bertanggungjawab. Siapa saja yang
mengetahui bahwa ia harus bertanggungjawab, maka hendaknya ia menyediakan
jawaban untuk pertanyaan kelak “.
Lelaki itu
kemudian menanyakan : “ Lalu, bagaimana jalan keluarnya ? ”.
Fudhoil menjawab
: “ Mudah saja “.
Lelaki itu
menyahutnya : “ Mudah itu yang bagaimana ? “.
Fudhoil
menjelaskannya : “ Berbuat baiklah pada sisa usiamu, niscaya Allah akan
mengampuni dosa-dosamu yang terdahulu. Janganlah engkau berbuat keburukan pada
masa yang tersisa, karena segala perbuatanmu di masa lampau dan yang akan
datang itu akan diperhitungkan di sisi-Nya “.
Rasulullah SAW
bersabda : “ Kalau seseorang manusia meninggal dunia, amal perbuatannya
terputus, kecuali tiga hal, yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta
anak saleh yang mendoakan orangtuanya “. (HR. Muslim).
Makna hadits ini
oleh beberapa ulama dikatakan bahwa pahala dari amalan orang yang sudah
meninggal dunia akan terputus oleh kematiannya kecuali tiga hal itu. Namun
ketiganya, yaitu harta dan ilmu serta anak, juga dapat menyebabkan dosanya
masih akan terus ditunainya. Hal itu karena hakikat penyebab dari pahala dan
dosa yang ditimbulkan dari ketiganya itu.
Harta dunia yang
diwariskannya dapat menjadi hal maslahat berupa pahala yang terus mengalir
baginya di kehidupan akhirat, jika harta yang ditinggalkannya itu memberikan
manfaat bagi kebaikan dunia menurut parameter kebaikan berdasarkan nilai-nilai
agama yang diridhoi oleh
Allah SWT. Namun
justru akan menjadi mudharat berupa dosa yang terus ditunainya di kehidupan
akhirat, jika harta yang ditinggalkannya itu telah menjadikan kemaksiatan di
dunia, apalagi jika menyebabkan pertengkaran diantara ahli warisnya. Bahkan
lebih parah lagi jika
hartanya itu
malahan dijadikan sarana berbuat kemaksiatan oleh para ahli warisnya. Oleh
sebab berhati-hatilah dengan harta dunia, ia dapat memberikan aliran pahala
yang tiada terputus, namun dapat membuahkan dosa yang mengalir tiada terputus
pula. Sesungguhnya hanya harta berupa sedekah jariyah dan wakaf yang akan
menjamin kesejahteraan kehidupan akhiratnya.
Demikan juga
dengan ilmu yang ditinggalkannya melalui pengajaran dan tulisannya. Kemanfaatan
dan kemudharatan dari ilmunya itu tentu menurut parameter manfaat dan kebaikan
berdasarkan nilai-nilai yang diridhoi Allah SWT. Tak berbeda dengan anak
keturunannya sebagai hasil didikan dan pengasuhan serta pengajarannya. Oleh
sebab itu berhati-hatilah dalam pengajaran ilmu dan pengasuhan anak. Ingatlah
hanya anak keturunan yang soleh dan solehah saja yang akan diterima doa
permohonan pengampunan bagi dosa orangtuanya, bukan doa dari anak keturunan
yang tak soleh dan tak solehah.
Imam Ahmad
pernah berkata bahwa suatu ketika Rasulullah SAW dihadapan beberapa sahabatnya
bersabda : “ Maukah kalian aku tunjukkan orang terbaik di antara kalian ? ”.
Para sahabatnya menjawab : “ Mau, wahai Rasulullah “. Selanjutnya beliau Nabi
SAW bersabda : “ Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling panjang
usianya dan terbaik amalannya“.
Sungguh usia
panjang itu adalah aset berharga dan bermanfaat yang mendatangkan pahala
baginya, jika usianya itu bernilai keimanan dan kebaikan sesuai dengan kebenaran-Nya.
Namun usia panjang itu dapat merupakan kerugian tiada tara bagi dirinya yang
akan mendatangkan dosa baginya, jika disepanjang usianya itu berisikan
kemaksiatan dan kedurhakaan kepada-Nya.
Imam Bukhori dan
Imam Muslim meriwayatkan suatu doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW : “Ya
Allah, biarkanlah aku hidup kalau memang hidup ini lebih baik bagiku, dan
cabutlah nyawaku kalau memang kematian itu lebih baik bagiku “.
Anas ra
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “ Kalau Allah menginginkan
kebaikan pada diri hamba-Nya, pasti Allah akan membuatnya beramal ”.Kemudian
para sahabatnya bertanya : “ Bagaimana Allah membuatnya beramal ? “. Rasulullah
SAW menjawabnya : “ Allah akan memberinya taufik dan hidayah-Nya agar mampu
beramal salih sebelum matinya “.
Akhirulkalam.
Bersyukurlah bagi mereka yang diberikan kelonggaran usia oleh Allah SWT,
seyogyanya usianya itu tidak disia-siakan olehnya. Rasulullah SAW bersabda : “
Allah telah memberikan udzur kepada seseorang dengan menangguhkan ajalnya, sehingga
mencapai usia enam puluh tahun “ (HR. Ahmad). Dan Rasulullah SAW juga bersabda
: “ Sesungguhnya amal perbuatan dinilai sesuai dengan bagian akhirnya “ (HR.
Bukhori). Bagian akhir itu adalah saat ajal menjemput kita, akan khusnul
khotimah-kah akhir hidup kita ?, Akankah disaat sakaratul maut nantinya ketika
lidah di mulut kita telah kelu maka lidah di kalbu kita ini masih akan mampu
mengucapkan ‘ Laa Illaha Ilalllah Muhammadur Rasulullah ‘ yang merupakan suatu
kalimat jaminan surga bagi kita di kehidupan akhirat kelak ?.
Tulisan ini
disadur oleh NN dari buku “ Misteri Umur 60 : Menyibak Pernik-Pernik Usia
Kritis Di Ambang Maut “ yang ditulis oleh Ali bin Sa’id bin D’jam dan
diterbitkan oleh Wacana Ilmiah Press - Solo.
Hak cipta adalah
milik Allah semata.
Hak kita sebagai
manusia adalah berlomba-lomba menyebarluaskan kata-kata keb
0 komentar:
Posting Komentar